“2 (Dua Kata, Dua Hati, Dua Cinta, Dua Jiwa)”
(Tak Selamanya Kita Sehati)”
By: Rey Samudra
Ini bukan
pertama kalinya aku kehilangan sesuatu yang disebut cinta oleh kebanyakan
orang. Meski tak sering, namun paling tidak, hingga umurku segini kuhitung
sudah lima kali aku jatuh hati pada seorang perempuan. Sebut saja namanya
Indah, Anita, Nayla, Sekar dan yang terakhir adalah Ahsa. Dari kelima gadis
ini, Ahsa adalah yang paling istimewa dan memberi kesan yang mendalam padaku.
Selain manis, ia juga cerdas dan multi talenta. Dan yang terpenting, dia juga
seorang musafir kata yang tak jauh-jauh dengan kata. Bahasa kerennya, siapapun
yang berkecimpung di dunia ini seringkali disebut sebagai pujangga. Inilah yang
membuatku hampir tergila-gila padanya. Ahsa, memanglah musafir kata yang
menawan.
***
Siang ini, sungai mungil yang
ada di belakang rumah Nilam mengalir dengan lancarnya. Nilam adalah sepupuku.
Dan saat ini, aku tengah mengisi waktu liburku dirumahnya. Disinilah, ya
disini, awal mula aku mengenal Ahsa. Nilam jugalah yang memperkenalkanku
padanya. Pada dunia kata yang tak terhingga artinya itu lewat sebuah forum atau
group penyair tanah air lewat jejaring sosial. Aku masih ingat sekali, ketika
itu aku masih dengan culunnya membaca setiap postingan para member dengan
karya-karya mereka. Awalnya memang biasa saja, namun entah mengapa tiap kali
menikmati karya Ahsa, aku seolah dibawa ke dunia lain yang aku tak tau apa
namanya. Aku mendadak menjadi puitis dan menulis berposting-posting status di
jejaring sosial. Itu semua karena Ahsa.
“Hhh… bukankah ini cukup terik,
Ardan?” Ujar Nilam padaku, yang saat ini tengah duduk ditepi sungai. Terlihat
ia berusaha menyeka keringat yang terus menetes di keningnya. Tampak sekali
kalau ia merasa gerah dan sesekali pula ia mengibas-ngibaskan sapu tangan.
Berharap gerahnya sedikit berkurang.
“Iya.” Jawabku seadanya
“Sepertinya akan segera turun
hujan, Ardan. Sebaiknya kita pulang saja. Kalau tidak, kita bisa bermalam
dirumah pohon yang ada di tepi sungai ini.” Terang Nilam berusaha mengajakku
untuk pulang. Namun aku masih ingin disini. Menikmati, memandang air yang
mengalir.
“Dirimu pulang saja dulu, Nilam.
Nanti aku menyusul!” Ujarku padanya sembari menepuk-nepuk bahunya.
“Baiklah kalau begitu. Tapi
jangan terlalu berlama-lama disini, Dan. Nanti dirimu kesambet setan cantik
pula hehehe” Nilam cengengesan. Jelas sekali ledekannya sengaja ia lakukan.
Terlebih setelah berkata seperti itu ia langsung saja menjauh pergi. Ah, Nilam
memang sepupuku yang selalu ceria.
***
Pagi ini suasana sangat sejuk,
karena baru saja hujan turun cukup deras. Kini yang tertinggal adalah sisa-sisa
hujan yang berbentuk seperti se-pasukan gerimis yang turun bertubi-tubi. Sedang
aku masih saja terpaku di dalam rumah pohon yang tingginya kurang lebih sekitar
tiga meter dari permukaan tanah ini. Rumah pohon ini berdiri kokoh, dengan atap
dan dinding yang kokoh pula. Sehingga aku tak akan merasa khawatir kehujanan.
Kulayangkan pandanganku ke sekeliling. Dengan berbekal jaket seadanya aku
menikmati hujan kali ini.
Hem, hujan memang memiliki
banyak arti bagiku. Entah sudah berapa kali aku harus kehilangan orang yang aku
sayangi dalam kondisi cuaca tengah hujan. Namun sering pula moment indah aku
rasakan ketika hujan. Salah satunya ketika aku sedang jatuh cinta. Yang
terngiang dipikiranku adalah tulisan-tulisannya. Tulisan Ahsa yang akhir-akhir
ini membuatku bertanya-tanya. Dan kiranya hujan kali ini adalah saksi akan
patahnya hatiku padanya. Gadis menawan itu.
Postingan
pertama,
“Seperti sekumpulan puzzle aku menyaksikanmu
dari kejauhan, kekasih. Menikmati karyamu yang membuat hatiku bermekaran dan
jantungku pun berdegup kencang karenanya. Ah, kau lagi-lagi mengeluarkan jurus
terbaikmu. Lantas, dimana aku harus mencari sebuah kata yang hilang saat
denganmu…”
Postingan
kedua,
“Betapa bahagianya aku membaca surat terakhirmu. Tak kuasa aku menahan
linangan airmata haruku sendiri malam ini, kekasih. Kata itu begitu indah dan
aku merasa utuh. Utuh menikmati ketulusanmu yang aku tau hanya untukku. Dengan
itu aku semakin mengerti makna terpisahnya kita selama dan sejauh ini. Dan aku
menikmatinya, kekasih. Semoga perjumpaan kita nanti adalah perkabulan dari
do'a-do'a kita, kekasih. Disaat itulah kita bisa menikmati kebahagiaan
bersama-sama.”
Postingan
ketiga,
“Tik tak tik
tak… Jarum dari jam dinding setia berdetak mengiringi tarikan nafas kita.
Pertanda kehidupan terus berlanjut. Lantas bagaimana dengan degup jantungmu?
Jantungku? Jantung kita? Kita menerka-nerka dalam waktu, kekasih”.
Postingan
keempat,
“Sepertiga malam yang sunyi. Ditemani suara
nyamuk yang bertebangan kesana kemari tak henti. Di moment seperti inilah yang
ingin nantinya bisa aku habiskan waktu denganmu. Dimana, disinilah romantisme
dari peleburan segenap kerinduan kita berbaur, kekasih. Mungkin hanya hal yang
sederhana, namun kekuatan cinta lahir darisana. Semoga...”
Postingan
kelima,
“Ingin saja tak cukup meyakinkanku tentang
seberapa besar niatmu, kekasih. Terkadang butuh bukti untuk lebih meyakinkanku.
Meski hanya sebuah senyuman sekalipun. Bukan dengan kata-kata yang bisa jadi
bukanlah murni engkau tulis untukku. Karena kita sama-sama musafir kata yang
berkutat dengan kata dan imaji. Percayalah, pengalaman mengajarkanku. Bahwa
kata tak selamanya muncul dari kedalaman hati. Dan aku pernah mempercayai
seseorang karena katanya, namun lantas ia berkhianat dan meninggalkanku tanpa
kata pula.”
Postingan
keenam,
“Apa aku harus jujur padamu, lantas aku menorehkan kisah kita di
lembaran daun jati? Percayalah aku ingin tapi tak ingin. Aku ingin engkau
jujur, layaknya pucuk bunga Jambu yang gugur diterpa angin. Karena ini
menyangkut dua kata, dua hati, dua cinta dan dua jiwa, kekasih. Dan aku ingin
kau mengerti bahwa aku bukanlah seorang Siti Khodijah.”
Kuperhatikan ada sekitar enam
postingan yang berbeda darinya. Ahsa, musafir kata yang selama ini karyanya aku
nikmati. Biasanya ia tak sekalipun menyentuh ranah ini. Ranah galau yang
kebanyakan disebut orang. Namun kali ini rasanya bertubi-tubi ia curahkan
kegelisahan hatinya. Lantas aku, bingung hendak berbuat dan bersikap apa.
Secara jujur, aku memang jatuh hati padanya. Namun disisi lain akupun tak punya
kuasa untuk jujur padanya. Sama seperti tulisan terakhirnya, bahwasanya ini
menyangkut dua kata, dua hati, dua cinta dan dua jiwa. Dan aku adalah pengangum karya-karyanya yang
berharap bisa memilikinya.
Dalam
kasus ini, kalau tak salah terka, tentulah aku berada pada perahu yang berbeda
dengannya. Ia telah menambatkan hatinya pada orang lain. Sedang aku,
menyaksikan dan menikmati karyanya dari kejauhan saja cukup bagiku. Karena
bagaimanapun, karya yang memiliki ruh akan tetap meninggalkan kesan, meski sang
pemilik ruh meninggalkan dunia sekalipun. Ruh yang sebenarnya tengah aku cari,
dan itu ada pada dirinya. Namun, ibarat kaki, ia tak akan seimbang bila hanya
ada satu. Dan semua tak akan terasa indah bila hatiku tak sejalan dengan
hatinya. Toh, yang paling membuat
kita nyaman adalah hati kita. Begitu juga sebaliknya.
***
Aku akan terus berjalan, meneduhkan kenyataan bahwa engkau mungkin
bukan tercipta untukku. Ahsa. Hanya saja aku tak ingin karam oleh pesonamu yang
bisa jadi bukan utuh untukku. Biarkan apa yang ada padamu tetap menjadi milik
alam, yang menyuarakan kehidupan. Yang jelas aku masih disini, mengejar
sepintal benang hati yang masih basah terguyur hujan.
Entah hatiku harus dirampas paksa karena kisahmu,
namun aku akan tetap menggenggam mimpiku. Karena titian kisahku akan terus
berlanjut meski utuhku tak berperaduan. Aku akan tetap melangkah meski engkau tak
menganggapku ada, Ahsa. Telah kucari rindu dimatamu, walau nyatanya aku
terlambat. Pesonamu telah pergi direguk cahaya bintang bersinar, dalam rasi
kasih yang memabukkan. Yang jelas, sampai detik ini aku masih setia disini
menunggumu. Menikmati karyamu dari kejauhan. Karena itulah caraku tulus
memahami tiap untaian katamu. Dan temui aku dalam hatimu bila engkau siap.
Untuk seorang musafir kata yang aku kasihi.
Ahsa, maaf aku jatuh hati padamu secara diam-diam.
**********************************************************************
Cerpen ini di ikut sertakan dalam lomba Cerpen "Aku Jujur Padamu" dari fanspage Kinomedia